Kerja sama multilateral yang akan diratifikasi pada Juli tersebut, jelasnya, masih membawa dampak positif terhadap perdagangan dan kinerja sektor manufaktur karena industri manufaktur Indonesia dinilai selevel dengan India.
“Pemerintah tak mengkhawatirkan implementasi AIFTA akan berdampak negatif seserius ACFTA [liberalisasi pasar Asean-China]. Industri manufaktur kita sudah biasa kerja sama dengan India. Jika ada liberalisasi pasar, bukan hanya bea masuk India yang dihapuskan tapi BM produk-produk kita mendapatkan perlakuan yang setara,” katanya, hari ini.
Meski demikian, lanjutnya, pemerintah tak memungkiri adanya dampak negatif yang ditimbulkan dari AIFTA kendati tak sebesar dampak ACFTA, terutama bagi sektor industri yang selama ini belum berdaya saing kuat seperti besi dan baja, serta industri kecil menengah.
“Untuk hal ini, pemerintah telah menyiapkan berbagai instrumen seperti standar nasional Indonesia [SNI] dan pengamanan pasar domestik serta perlindungan sejumlah sektor industri yang mengalami tekanan cukup berat,” katanya.
Anggota Komisi VI DPR Gde Sumarjaya Linggih (F-PG) menjelaskan berbagai implementasi liberalisasi perdagangan diyakini akan menurunkan kinerja sektor industri. Namun, menurutnya, pemerintah belum memiliki persiapan optimal untuk menekan dampak negatif tersebut.
“ACFTA dan AIFTA sebenarnya sama berbahayanya jika kita sampai sekarang belum melakukan apa-apa. Kami harap ketiga instansi yakni Kemenperin, Kemendag dan Kemeneg BUMN bisa saling bersinergi dalam mengoptimalkan perlindungan industri lokal,” jelasnya.