Menteri Perindustrian MS Hidayat mengaku telah meneken aturan pemberian insentif tersebut. Namun, perusahaan yang diberikan insentif tersebut harus banyak menyerap tenaga kerja."Antara lain pendapatan, tapi antara lain juga berapa karyawan," ujar Hidayat di Jakarta. Untuk UMKM, lanjut dia, pihaknya juga memberikan beberapa syarat yaitu faktor omzet atau pendapatan harian.
Sebagaimana diketahui, krisis moneter dan krisis keuangan yang mengguncang Indonesia pada tahun 1998 serta 2008, sangat berpengaruh terhadap roda perekonomian Tanah Air. Namun, tidak semua sektor terguncang kala itu. Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) terbukti lebih tahan terhadap guncangan krisis yang melanda.
"UMKM sudah terbukti di Tahun 1997 dan 2008 menjadi penyangga ekonomi rakyat, mereka tidak begitu terpengaruh dengan pelemahan nilai tukar," ungkap Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis.
Namun, lanjut Harry, sektor tersebut sangat rentan terhadap gejolak inflasi. Harry mengatakan, untuk kondisi saat ini, pertumbuhan sektor UMKM relatif lebih stabil ketimbang sektor lain."Pertumbuhan tentu akan mengalami penurunan tetapi tidak sebesar penurunan di sektor lainnya," imbuh Harry.
Meski diakui sebagai penopang perekonomian saat badai krisis melanda, sayangnya dalam 4 paket regulasi pemerintah yang baru saja dirilis, tidak terlalu jelas kaitannya dalam memberi stimulus pada sektor UMKM."Khusus UMKM yang berorientasi ekspor mungkin bisa meningkat pertumbuhannya karena ada insentif potongan pajak 30 % karena itu aturan teknisnya harus jelas dulu, saya yakin UMKM tidak terlalu terpengaruh atas gejolak nilai tukar akhir-akhir ini," tutur Harry.
Keringanan Pajak
Di tempat berbeda Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar memaparkan kalau Kementerian Keuangan segera mengesahkan peraturan penundaan pajak dan keringanan pelunasan pajak bagi industri padat karya. "Sudah dalam tahap finalisasi,” kata dia.
Kata Mahendra, Menteri Keuangan telah berkonsultasi dengan Komisi Keuangan DPR untuk menentukan industri apa saja yang mendapatkan insentif ini. "Sudah disepakati, ada lima jenis industri padat karya, yaitu tekstil, garmen, alas kaki, mainan, dan furnitur,” ungkapnya.
Untuk kelima jenis industri itu, insentif yang diberikan adalah penundaan pembayaran pajak penghasilan pekerja diberikan sebesar 25% setiap bulannya. "Untuk industri yang berorientasi ekspor bahkan pengurangan pajaknya sampai 50%," ujar Mahendra.
Adapun insentif berikutnya berupa kelonggaran pelunasan pembayaran pajak hingga April tahun depan. "Kedua insentif ini bertujuan melindungi cash flow perusahaan agar lebih kondusif," Mahendra menjelaskan. Pemerintah berharap, dengan insentif ini, pengusaha tidak akan melakukan PHK di tengah kondisi pelemahan perekonomian dan tingginya ongkos produksi.(DIGESTEX)
Potensi Pasar Tekstil
Pada semester pertama tahun ini ekspor produk tekstil hanya mampu tumbuh tipis 2 persen. Untuk memperbaiki itu, pada semester kedua ini pemerintah dan pengusaha berusaha menggenjot ekspor ke negara-negara potensial. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, di tengah kondisi yang sulit, pertumbuhan sekitar 2 persen sebenarnya sudah cukup baik. "Tapi kami bakal terus memperbaiki kinerja ekspor mengingat lesunya pasar domestik," katanya baru – baru ini.
Lesunya pasar domestik tersebut disebabkan kenaikan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, listrik, dan pendidikan. Itu membuat alokasi anggaran belanja produk tekstil berkurang. Ade mengatakan, saat ini terdapat kondisi yang bisa menguntungkan pasar ekspor tekstil Indonesia. Salah satu negara produsen tekstil terbesar, yaitu Bangladesh, mengalami penurunan produksi. Sehingga pasar Amerika dan Eropa mulai mengalihkan permintaannya ke Indonesia. Menurut Ade, itu merupakan kesempatan yang harus dimanfaatkan oleh produsen tekstil. Ade yakin hingga akhir tahun ini ekspor tekstil bisa mencapai USD 13 miliar.
Sepanjang semester pertama tahun ini ekspor produk tekstil mencapai USD 6,5 miliar atau naik 2 persen jika dibandingkan masa yang sama tahun lalu USD 6,35 miliar. Petumbuhan yang sangat tipis itu disebabkan sejumlah faktor. Terutama, kondisi perekonomian dunia yang belum stabil sehingga permintaan masih rendah. Beban produksi juga bertambah karena dipengaruhi sejumlah regulasi pemerintah.
Atase Perdagangan Indonesia di Washington D.C Ni Made Marthini mengatakan, pasar produk tekstil di Amerika Serikat (AS) cukup besar. Tahun lalu ekpor tekstil Indonesia ke AS mencapai USD 5,1 miliar atau sekitar 45 persen dari total ekspor. "Jika melihat pasar tekstil di AS, tentu nilai itu sangat berpotensi ditingkatkan," jelasnya. Beberapa produk tekstil yang diminati di AS antara lain tas dan dompet kulit, sweater, aksesoris, kain tenun, hingga batik. Untuk membantu menggenjor ekspor, pihaknya memfasilitasi produsen tekstil Indonesia untuk memasarkan produknya melalui pameran. Misalkan saja pameran Sourcing@Magic di Las Vegas pada 18-21 Agustus kemarin.
Pada pameran itu pihaknya bekerjasama dengan Indonesian Trade promotion Center (ITPC) Los Angeles dan Chicago, dengan mendatangkan delapan perusahaan tekstil dan aksesoris dari Indonesia. Perusahaan itu yakni PT. Jaba Garmindo, PT Hakatex, PT Ind-Konnect Pearl of Silk, PT Leginayba, PT Kalyana Indonesia, Laga Designs International, PT Baguda Wear dan PT Excellence Qualities Yarn. "Kami mempertemukan perusahaan itu dengan buyers di AS. Sehingga disana bisa terjadi transaksi atau kerjasama," ucapnya.