Asep Suherman, salah seorang perajin mengungkapkan, kenaikan bahan baku yang terjadi sejak Senin (17/5) tersebut begitu mendadak, tanpa ada pemberitahuan. Bahkan, kenaikan kali ini dinilainya di luar kebiasaan karena mencapai dua kali lipat dari kenaikan yang umum terjadi.
“Saya kaget ketika akan memesan ternyata harga naik drastis, dua kali lipat dari kenaikan biasa. Kalaupun naik, biasanya sekitar Rp 500,00- Rp 1.000,00 seperti Februari lalu. Akan tetapi, sekarang, mencapai Rp 2.000,00,” katanya di Sentra Rajut Binong Jati, Bandung.
Kenaikan itu, diakui Asep cukup memukul para perajin. Pasalnya, kondisi pasar saat ini tengah mengalami penurunan hingga 5 persen. Selain itu, pedagang di Tanah Abang pun meminta penurunan harga Rp 5.000,00-Rp 10.000,00 per lusin atau setara dengan pemangkasan harga sekitar 5 persen.
“Artinya, beban yang ditanggung perajin semakin menyulitkan. Setelah produksi melambat karena pasar yang menyusut, kemudian harga yang harus turun, kini harga bahan baku naik. Kami sudah tidak tahu harus bagaimana lagi,” katanya.
Ia mencontohkan, untuk satu lusin baju rajut membutuhkan benang 2,5-3 kg. Artinya dengan kenaikan Rp 2.000,00 per kg, perajin harus mengeluarkan biaya ekstra Rp 6.000,00. Sementara, pedagang justru meminta pemotongan harga Rp 5.000,00-Rp 10.000,00 per lusin.
Ketua Sentra Industri Rajut Binong Jati, Suhaya Wondo menambahkan, kenaikan harga benang pun tidak menjamin ketersediaan pasokan barang. Pasalnya, untuk jenis dan warna tertentu malah sulit didapat. “Harga naik tidak berarti pasokan ada. Untuk warna-warna cerah sulit didapat. Pasokannya sedikit. Padahal, warna-warna itulah yang dibutuhkan perajin,” katanya.
Wondo yang merupakan supplier kecil benang tersebut mengaku tidak mengetahui secara pasti penyebab kenaikan harga itu. Bahkan, ia baru mengetahui adanya kenaikan pada Senin (17/5) pagi ketika akan melakukan pemesanan.
Wondo mengkhawatirkan kenaikan harga benang akan semakin menganggu cash flow perajin. Apalagi saat ini, setelah hantaman penerapan ACFTA, sudah sekitar 30-40 persen perajin yang menghentikan sementara proses produksinya.
Untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut, Wondo mengungkapkan, dalam waktu dekat akan diadakan pertemuan di antara para perajin di sentra Binong. Pertemuan tersebut diharapkan dapat membangkitkan kembali usaha yang sedang terpuruk tersebut.