Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan nilai ekspor garmen Indonesia mencapai US$10,6 miliar tahun lalu. Dari total ekspor tersebut, pasar Amerika Serikat merupakan tujuan ekspor utama yaitu sebanyak 37% dari total ekspor.
“Ekspor garmen tahun lalu mencapai US$10,6 miliar yang 37% di antaranya ke pasar AS. Selanjutnya tujuan ekspor terbesar ke Uni Eropa sebanyak 14%, Jepang 6%, dan sisanya ke pasar China, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Eropa Timur,” papar Ade hari ini.
Pada 2011, sambung Ade, ekspor garmen atau pakaian jadi Indonesia diharapkan bisa meningkat menjadi sedikitnya US$11 miliar. Harapan tersebut, tuturnya, seiring dengan adanya berbagai rencana investasi baru serta revitalisasi industri tekstil dan produk tekstil serta pengutamaan penyelesaian persoalan ekonomi dibandingan politik oleh pemerintah tahun ini.
“Harapannya kalau politik tidak jadi panglima diharapkan ekspor kita bisa naik menjadi lebih dari US$11 miliar tahun depan,” katanya.
Ade mengatakan karena terlalu tingginya fokus perhatian seluruh elemen bangsa ke persoalan politik dalam 10 tahun terakhir, menjadikan daya saing industri, termasuk garmen Indonesia terus menyusut, khususnya dalam merebut pasar-pasar utama.
Indonesia, tuturnya, kini hanya menempati posisi keempat setelah China, Bangladesh, dan Vietnam untuk ekspor garmen ke AS.
Indonesia juga telah melorot ke posisi delapan besar eksportir garmen terbesar ke Uni Eropa setelah sempat menempati posisi kedua di belakang China. Negara-negara seperti Bangladesh, Maroko, Turki, Aljazair kini menjadi eksportir garmen besar baru bagi Uni Eropa.
Penurunan tersebut, katanya, terjadi karena permintaan yang terus tumbuh di negara tujuan, di sisi lain Indonesia tidak mampu mengimbangi permintaan tersebut dengan pasokan yang cukup karena minimnya ekspansi. Kerja keras dan fokus perhatian yang diberikan oleh negara-negara pesaing Indonesia justru berhasil merebut pertumbuhan permintaan tersebut.
“Sejak 2000 industri kita mengalami stagnasi, dan otonomi daerah ternyata melahirkan eksploitasi potensi ekonomi untuk tujuan politik dan kekuasaan. Pengembangan industri menjadi tidak fokus 100%, padahal kita harus bersaing dengan negara lain yang terus tumbuh,” paparnya.