"Memang terjadi surplus perdagangan, namun ini lebih banyak terjadi karena industri dalam negeri bekerja keras untuk menciptakan daya saing produk di pasar ekspor. Dukungan pemerintah masih belum maksimal," ujar Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat, kepada Media Indonesia, Selasa (4/1).
Menurut Ade, surplus sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang mencapai US$4,9 miliar tahun lalu (ekspor US$10,9 miliar, impor US$6 miliar) bisa lebih besar seandainya industri tekstil nasional mampu memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat.
"Indonesia, kini hanya menempati posisi keempat setelah China, Bangladesh, dan Vietnam untuk ekspor garmen ke AS. ndonesia juga telah melorot ke posisi delapan besar eksportir garmen terbesar ke Uni Eropa setelah sempat menempati posisi kedua di belakang China. Negara-negara seperti Bangladesh, Maroko, Turki, Aljazair kini menjadi eksportir garmen besar baru bagi Uni Eropa," ujar Ade.
Hal ini, imbuhnya, terjadi karena perhatian seluruh elemen bangsa ke persoalan politik dalam 10 tahun terakhir, menjadikan daya saing industri, termasuk garmen Indonesia terus menyusut, khususnya dalam merebut pasar-pasar utama.
"Pemerintah berkutat dalam urusan politik. Pembenahan kebijakan perdagangan dan industri tidak menjadi prioritas. Akibatnya permintaan yang terus tumbuh di negara tujuan tidak mampu diimbangi dengan pasokan yang cukup karena minimnya ekspansi," ujarnya.
Selain itu, peningkatan nilai impor sepanjang tahun di atas 41% masih belum menggugah pemerintah untuk mendorong tumbuhnya industri yang bisa mengurangi ketergantungan terhadap produk impor.
"Keran impor terbuka lebar karena masih banyak celah yang bolong dalam pengawasan. Impor barang modal tinggi karena memang tidak ada kebijakan yang mendorong upaya menciptakan industri hulu-hilir. Belum lagi masalah pembenahan manufaktur dan pasokan energi serta sinergi kebijakan antar instansi pusat dan daerah," paparnya.
Menurutnya, sejak 2000 industri nasional mengalami stagnasi karena otonomi daerah ternyata melahirkan eksploitasi potensi ekonomi untuk tujuan politik dan kekuasaan.
"Pengembangan perdagangan dan industri menjadi tidak fokus 100%, padahal kita harus bersaing dengan negara lain yang terus tumbuh," paparnya
Karena itu, perkiraan pertumbuhan ekspor garmen Indonesia tahun ini yang mencapai US$11 miliar (tumbuh 4%) bisa lebih besar bila pemerintah sigap melakukan pembenahan kebijakan perdagangan dan industri.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronik Indonesia (Gabel) Ali Soebroto Oentaryo. Menurutnya pertumbuhan industri elektronik hingga 15% (Rp230 triliun) lebih banyak diserap pasar doimestik.
"Kegiatan ekspor ini, lebih didorong oleh perusahaan-perusahahan elektronik dunia yang merelokasi pabriknya ke Indonesia, seperti PT LG Electronic Indonesia (LGEIN) dan PT Panasonic Corporation.Pertumbuhan ekspor elektronik tidak terlalu bagus. Belum ada perubahan ekosistemnya," kata Ali.
Hingga kini belum ada lagi rencana relokasi pabrik elektronik asing ke Indonesia.
"Setidaknya, masih ada beberapa kendala yang harus diperbaiki oleh pemerintah seperti fleksibilitas Undang-Undang (UU) Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan infrastruktur khususnya persoalan pembebasan tanah," ujarnya.
Sebaliknya dominasi produk elektronik impor masih sangat tinggi di pasar domestik. Produk elektronik nasional saat ini hanya mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik sebesar 30%.